Kamis, 19 Agustus 2010

Senjata Cakra

Panah cakra
Panah cakra
Cakra adalah senjata sejenis panah yang dianugerahkan oleh Dewa kepada titisan Hyang Wisnu. Pada umumnya siapapun yang merupakan titisan Wisnu mempunyai juga senjata ini. Senjata ini sangat sakti, tak ada seorang pun yang kuat menghadapi cakra.
Dalam suatu riwayat dikisahkan, Prabu Arjunasasrabahu, seorang titisan Wisnu, dipanah dengan senjata cakra oleh Raden Sumantri, yakni seorang kesatria yang akan menghamba pada Prabu Arjunasasrabahu, untuk mencoba kesaktian Prabu Arjunasasrabahu. Untuk menghadapinya, maka Prabu Arjunasasrabahu bertiwikrama, yaitu berubah menjadi raksasa yang amat besar. Dengan kesaktian Prabu ini, maka Sumantri gentarlah dan hilang segala kesaktiannya. Hal ini menunjukkan bahwa senjata cakra tak mempan pada titisan Wisnu. Kedua kesatria tersebut, Arjunasasrabahu dan Sumantri itu, merupakan titisan Wisnu.
Pada perang Baratayudha, senjata ini dipergunakan oleh Prabu Kresna untuk tipu muslihat menutup sinar matahari, hingga tampak sinar matahari itu suram dan hari menjelang malam. Tipuan ini digunakan ketika Arjuna bersumpah akan mati bertunu (bakar) jika pada hari itu ia tak dapat membunuh Jayadrata yang telah membunuh anaknya. Karena sumpah setia, ini terdengar oleh pihak Kurawa, maka disembunyikanlah Jayadrata. Dan ketika sinar matahari suram tertutup Cakra, Jayadrata tergoda ingin. melihat kematian Arjuna dan keluar dari tempat persembunyiannya. Tingkah laku Jayadrata itu diketahui oleh Seri Kresna, maka berkatalah Seri Kresna kepada Arjuna, menyuruh melepaskan panah pada Jayadrata. Tak pelak panah Arjuna mengenai sasarannya dan penggallah kepala Jayadrata. Setelah kejadian ini, Seri Kresna menarik cakranya kembali, dan maka terang benderang sebagai sediakala dan riuh rendah suara sorak pihak Pandawa.
Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

RAKSASA CAKIL

Cakil
Cakil
Raksasa cakil dapat dipergunakan untuk lakon apapun juga. Cakil bukan nama raksasa itu, hanya nama celaan karena ia bertaring di ujung mulutnya seperti pasak. Adapun namanya dalam pementasan wayang terserah pada ki dalangnya. Cakil mati dalam perang tanding oleh kesatria dengan kerisnya sendiri ketika mencoba menusuk sang kesatria musuhnya, direbutlah kerisnya dan ditusukkan kepadanya. Raksasa Cakil bersuara kecil (Jawa:. kemeng) dan gagap. Waktu ia berkumpul dengan para raksasa lain untuk menjalankan titah raja, maka ia yang paling banyak kata untuk menampakkan keberaniannya, dan pada waktu perang ia yang pertama maju berhadapan musuh, tetapi tentu kalah, kemudian minta bantuan temannya, namun mati juga. Wayang kulit Cakil tak banyak menarik perhatian penonton, tetapi untuk pementasan wayang orang, Cakil, jadi kembang sebab tariannya yang lincah dan dinamis.

BENTUK WAYANG

Cakil bermata kriyipan (berkejapan), hidung bentuk haluan perahu mendongak, bergigi dan bertaring di bagian depan, mulut hingga melebihi bibir atas. Bersanggul bentuk keling dengan dikembangi. Bersunting sekar kluwih panyang, berkalung ulur-ulur. Berkeris dua buah, satu bentuk sarung ladrang (panyang dan runcing), diselipkan di pinggang belakang. Sebuah lagi gayaman yaitu sarung; keris yang serupa buah gayam. (nama sejenis buah). Selipan keris itu dibalikkan tidak seperti pemakaian biasa, disebut: kewalan.
Pemakaian keris seperti itu dilarang oleh kraton karena dianggap kurang adab, dan mencurigakan, sebab dia seolah selalu siap sedia untuk mempergunakan keris itu dan sekonyong-konyong keris itu mudah dihunus. Pemakaian keris yang benar dapat dilihat pada gambar Patih Seberang.
Raksasa Cakil juga digunakan untuk sengkalan perhitungan angka tahun, berbunyi: Tangan yaksa tataning janma = 1552. Karangan Susuhunan Nyakrawati wafat Krapyak
Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

PRABU DURYUDANA

Prabu Duryudana
Prabu Duryudana
Duryudana adalah putera Prabu Destarastra di Hastinapura, ia seorang Kurawa yang tertua. Korawa atau Kurawa berarti suku bangsa Kuru. Setelah dewasa Duryudana bertahta di Hastinapura bergelar Prabu Duryudana. Kurawa meskipun bersaudara misan dengan Pandawa namun senantiasa bermusuhan, hingga terjadi perang saudara, yang disebut Baratayudha. Negeri HHastinapurapura terhitung kerajaan besar, binatara, maka waktu perang Baratayudha dapat bantuan dari kerajaan lain. Sebenarnya Prabu Duryudana seorang yang sakti, tetapi tak pernah kelihatan kesaktiannya. Dalam perang Baratayudha ia bertanding dengan Raden Wrekudara. Prabu Duryudana tak dapat dikalahkan. Tetapi ketahuan oleh Wrekudara dari isyarat yang diberikan oleh Prabu Kresna dengan menepuk-nepuk paha kiri yang merupakan kelemahannya. Setelah dipupuh (dipukul) dengan gada, paha kirinya oleh Wrekudara, tewaslah ia. Kelemahan paha ini karena waktu muda Duryudana dimandikan dengan air sakti, ada bagian paha yang tertutup dengan daun beringin, maka tertinggallah bagian badan itu oleh air sakti yang membasahi seluruh badannya.
Prabu Duryudana menantu raja Mandraka, Prabu Salya. Mula-mula ia bertunangan dengan Dewi Erawati, Puteri Prabu Salya yang tertua, tetapi gagal karena puteri itu dicuri oleh Kartowiyoga, dan Prabu Duryudana mencari puteri itu tetapi gagal. Putri tersebut diketemukan oleh Raden Kakrasana, maka diperisterilah puteri itu oleh Kakrasana, yang kemudian jadi raja di Madura bernama Prabu Baladewa.
Kedua kali Prabu Duryudana bertunangan dengan puteri Prabu Salya yang kedua, bernama Dewi Surtikanti, tetapi puteri itu diperisteri oleb Raden Suryaputra, yang kemudian bernama Adipati Karna.
Ketiga kalinya, bertunangan dengan Dewi Banowati, puteri Prabu Salya yang ketiga, luluslah perkawinan ini. Namun sebenarnya, puteri Banowati tak suka pada Prabu Duryudana, karena Banowati berharap akan diperisteri oleh Raden Arjuna. Lantaran ini, Dewi Banowati .menurut juga dipermaisuri dengan Prabu Duryudana, tetapi dengan janji tak akan dilarang semasa Dewi itu bertemu dengan Arjuna sewaktu-waktu. Dikabulkanlah permintaan itu dan terlaksana pada waktu-waktu Banowati bertemu dengan Arjuna tak diganggu-gugat. Prabu Duryudana berputera Raden Lesmanamandrakumara dan Dewi Dursilawati.

BENTUK WAYANG

Prabu Duryudana bermata telengan, hidung dempak. Berjamang tiga susun dengan garuda membelakang besar, berpraba. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain bokongan kerajaan. Batik kain parang rusak barong, tanda kain pakaian bangsawan agung. Prabu Duryudana berwanda: Yangkung dan Jaka
Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

DEWI NAGAGINI

Dewi Nagagini
Dewi Nagagini
Dewi Nagagini ialah puteri Sang Hyang Antaboga, seorang Dewa ular, yang bertahta di Saptapratala atau bumi lapis yang ke tujuh. la sebangsa bidadari. Pada waktu Pandawa terkena tipu daya Kurawa sehingga hampir saja dibakar di sebuah perjamuan (dalam lakon Balesegala-gala), Pandawa yang tak kuasa menghindarkan diri dari tempat bahaya itu, dengan kemurahan Dewa, akhirnya dapat meloloskan ke dalam bumi dengan mengikuti seekor garangan (sebangsa musang) putih, sehingga bertemu dengan Hyang Antaboga.
Kemudian Raden Bratasena, Pandawa yang kedua, dinikahkan dengan Dewi Nagagini, dan berputra seorang laki laki bernama Raden Anantareja atau Anantasena. Anantareja dan ibunya tetap tinggal di Saptapratala, sebab mereka termasuk bilangan Dewa dan Dewi.

BENTUK WAYANG

Dewi Nagagini bermata jaitan, hidung mancung, bibir tersenyum, muka mendongak. Bersanggul gede (bentuk sanggul). Berjamang, sunting waderan, dengan kain penutup punggung; dan bersepatu tanda sebangsa bidadari.
Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.